Selasa, 05 Januari 2016

Tentang Menjadi Macho : Sebuah Tuntutan Primitif

Semua berawal kemarin pagi...

Jadi ceritanya gue abis buka-buka arsip foto jaman baheula trus nemu foto jaman alay, selfie di depan kaca toilet trus dijadiin collage, gue sendiri pun agak mual ngeliatnya.
 
Alay banget busyet...

Iseng-iseng foto tersebut gue jadiin DP BBM kemudian ada seorang teman berkomentar dan terjadilah percakapan ini,

(Gue “Y”, Temen gue “X”)
X : “Bro.. kok sekarang cantik gitu?”
Y : “Ya Allah kirain bakal dibilang ganteng”
X : “Kemayu banget posenya.”
Y : “Nggapapa sist, pada bilang ganteng kok. Mbaknya kayaknya seleranya beda”
X : “Ehm.. maap yak.. saya seleranya cowo macooo”
Y : “Ihh jahat banget sama temen sendiri”
X : “Aku ga jahat.. kan aku jujur.. huhuhu.. kamu harus lebih maco lagi ya nak, kasian ciwi-ciwi Wadaslintang”

Alhamdulillah gue orangnya gampang(an) diajak bercanda (walopun gue ngga tau hubungannya macho sama cewe-cewe di lingkungan rumah tempat tinggal gue sekarang, apa kalo gue selfie dengan gaya kurang macho, semua cewe Wadaslintang langsung berkabung gitu?). Gue yakin itu semua cuma bercanda. Kejujuran yang kayak gini emang perlu diapresiasi, kan tiap orang punya haknya buat berpendapat. Kali ini gue juga mengeluarkan pendapat gue mengenai masalah ini. 

Gue ngga suka bola
Gue jarang olahraga
Gue suka denger lagu-lagunya SNSD & Adele
Gue sering nangis kalo nonton adegan sedih di film-film
Gue kadang-kadang selfie
Gue suka nongkrong bareng cewek-cewek
Apakah gue orang jahat?
Apakah gue menimbulkan masalah di masyarakat?
Apakah gue otomatis menjadi “bad person” gara-gara hal di atas?
Jawabannya : Engga.

Kita ngga bisa menutup mata kalo ada ‘standar’ yang beredar di masyarakat : “Kalo cowok itu harus macho, harus laki.”. Sebenarnya siapa sih yang membuat garis pemisah antara feminim dan macho? The answer is : it’s socially constructed. Masalahnya, kadang orang merasa bersalah apabila mereka tidak sesuai dengan apa yang digambarkan masyarakat. Kenyataannya adalah, ngga ada yang benar-benar macho atau benar-benar feminim. Selalu ada sisi lain dari manusia. Mengutip apa yang pernah dikatakan Josh Hutcherson, “Defining yourself as 100% anything is kind of near-sighted and close-minded.”. Semacho-machonya cowok, kalo ketemu kecoa terbang juga langsung gelagapan.

Dulu ketika gue masih remaja (sekitar SD-SMP lah), gue sering dibully, alasannya : gue kurang macho, gue ngga laki, gue kayak banci. Sampe-sampe gue dipanggil guru BK cuma gara-gara gue kebanyakan maen sama cewek. Saat itu gue cuma bisa menyalahkan diri sendiri : Kenapa sih gue ngga bisa jadi kayak yang orang-orang inginkan? Mau sekuat apapun gue berusaha untuk memenuhi standar ke-laki-laki-an mereka, gue tetep ngga bisa, gue kalah.  Beberapa tahun kemudian, gue sadar, yang salah bukan gue, tapi mereka. Kalopun gue bisa balik ke masa lalu, gue bakalan bilang ke Yoga remaja : “Ngga ada yang salah sama kamu, ngga ada yang salah dengan jadi diri kamu sendiri, just be yourself and tell them to fuck themselves off.”

Beruntunglah gue sekarang hidup di lingkungan yang jauh lebih positif. Walaupun kadang gue masih menerima stigma negatif gara-gara kelakuan gue yang kadang ngga memenuhi standar macho (kayak cerita gue di awal tadi di mana gue diprotes gara-gara selfie dengan pose yang menurut dia ngga macho), gue sih menganggap stigma-stigma negatif tersebut sebagai bercandaan. Gue yakin, pikiran dan sudut pandang temen-temen gue ngga sedangkal itu.

Kadang gue masih menyesalkan kalo ada orang-orang yang masih mempermasalahkan ke-macho-an seseorang. Pertanyaannya : “Apa sih yang salah dari cowok-cowok yang ngga macho?”. Pertanyaan selanjutnya : “Apa sih yang salah dari orang yang ingin jadi dirinya sendiri?”. Ketika browsing mengenai hal ini, gue menemukan sebuah penjelasan yang menarik, dikutip dan diterjemahkan dari “Meditations for The Humanist : Ethics for a Secular Age” karya A.C. Grayling

“Moraliser adalah orang yang memaksakan padangannya tentang bagaimana seseorang harus hidup dan berkelakuan. Setiap orang memiliki pandangannya sendiri tentang bagaimana perilaku yang dapat mereka terima dan mereka cenderung berpegang kuat pada pandangannya masing-masing, namun yang Moraliser lakukan jauh dari hal tersebut, mereka ingin orang lain menyesuaikan diri dengan pandangan mereka, mereka melakukan hal ini dengan paksaan, mulai dari penolakan sosial dan pengendalian secara hukum. Dalam memaksa orang lain agar setuju pada pandangannya, mereka menunjukan hal-hal ini : ketidak-sensitifan, tidak adanya toleransi, ketidak-ramahan, kegagalan untuk bersimpati, tidak adanya pemahaman terhadap orang lain dan ‘ngeyel’ bahwa pandangan mereka adalah satu-satunya pandangan yang dapat diterima. Mereka membela aksinya dengan mengatakan bahwa mereka hanya ingin melindungi orang lain, padahal yang mereka lakukan adalah tidak hanya me-monopoli orang lain melalui penghakiman moral, tapi juga merebut hak untuk menentukan apa yang baik untuk orang lain.”
Ketakutan gue sekarang adalah, banyak orang yang masih berlaku seperti moraliser. Masih banyak orang yang berfikir kalau mereka bisa mengatur kehidupan orang lain seenak yang mereka suka. Mereka menganggap bahwa pandangan mereka selalu benar. Yang perlu diingat adalah, mereka selalu mengatakan “aku ngelakuin ini semua karena aku peduli sama kamu”. Entah apa muslihat yang moraliser katakan, kita harus selalu sadar : they are not going to live our life for us, we’re going to live our life for ourselves. Mereka ngga bakal menjalani hidup yang kita jalani, kita lah yang akan menjalani hidup kita sendiri. Pusing ya? gue juga.

Kadang kita harus berhenti terlalu banyak memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Buat gue, stereotype kalo cowok harus macho adalah tuntutan primitif. Selama gue ngga merugikan orang lain, selama gue masih produktif, selama gue masih jadi orang baik, ngga pernah ada yang salah dengan tidak memenuhi tuntutan tersebut.

Kepemimpinan dan Diskriminasi Ekspresi Gender


Ketika dikaitkan dengan kepemimpinan, beberapa orang mungkin akan berargumen “Cowok kan nantinya harus bisa jadi pemimpin, kalo ngga macho mana bisa jadi pemimpin yang baik.” Menurut gue argumen tersebut selain ngga berdasar, tapi juga menghina wanita secara general karena jika ditelaah lebih lanjut, argumen tersebut secara tidak langsung menunjukan bahwa wanita tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Bagaimana bisa seseorang lelaki dinilai memiliki sifat kepemimpinan yang buruk ketika menunjukan sifat-sifat yang menurut mereka cenderung kewanita-wanitaan? Padahal pada kenyataannya, banyak wanita di dunia ini yang berhasil menunjukan prestasi kepemimpinan yang cemerlang. Ketika ada cowok suka selfie dan gampang nangis kalo nonton film, bukan berarti secara langsung cowok tersebut bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang tidak kompeten. Kepemimpinan bukan masalah ekspresi gender, tapi lebih ke bagaimana seorang pemimpin bisa berkoordinasi dengan bawahannya.

Salah satu contoh diskriminasi ekspresi gender adalah saat banyak orang Indonesia mencemooh anggota boyband Korea Selatan karena kadang tampilannya yang cantik dan suka dandan. Tapi tahukah kalian, mereka yang kalian sebut cantik ini berjuang siang malam sebelum jadi artis, menghabiskan banyak waktunya, bahkan sampai bertahun-tahun, di ruang latihan demi cita-cita mereka sebagai entertainer. Mereka juga ambil bagian dari majunya tingkat perekonomian negara Korea Selatan.  Mereka yang kalian sebut banci ini, pada saatnya akan mengikuti wajib militer selama kurang lebih dua tahun demi mengabdi pada negara. Kalian sendiri udah ngelakuin apa buat negara? 

Ini COWOK lho ya, namanya Ren, anggota boyband Nu'est. (Sumber foto : http://www.nuestnorway.com/)
Ketika ada cowok (yang ngakunya) macho banget trus sibuk koar-koar, “Cowok kok kayak cewek, jadi banci aja sana!”, rasanya pengen gue tarik kupingnya, trus gue bisikin, “Ngga usah bacot. Mau jadi cowok kek, cewek kek, banci kek, itu urusan gue.  Mending lo ke dokter, periksa isi kepala lo, pastiin masih ada isinya ngga? Gue takutnya udah ilang menguap ngga membekas.”. Trus kalo ada cewek yang ngotot soal hal yang sama, mau gue bisikin juga (kali ini tanpa acara tarik menarik kuping) : “Takut kalah cantik apa gimana sist?”.

Gue sekarang ada di titik di mana all I have to do is to be who I am. Kalopun ada yang bilang, “nanti ngga laku loh kalo ngga macho”. Waduh, makasih lho buat nasihatnya, tapi kamu mau jadi Tuhan apa gimana kok sok tahu soal jodoh? :p

Pendapat Teman-Teman


Kemarin gue iseng ngirim pertanyaan ke beberapa temen gue mengenai pendapat mereka tentang berteman dengan “cowok cantik” dan seberapa penting tingkat ke-macho-an dalam hubungan persahabatan. Inilah jawaban mereka :

“Kalo buat aku pribadi ngga pernah tuh terganggu, malah ya kalo menurutku enak gitu temenan sahabatan sama “tipe” yang kayak gitu. Lebih leluasa kalo mau cerita-ceritaan, mau curhat ngalor ngidul juga ga ada jaim-jaimnya. Ga baperan. Intinya sih lebih enak aja diajak ngobrol, biasanya orang-orang kaya gitu pasti lebih supel, gampang membaur sama orang. Aku ngga keberatan, pada dasarnya kan sama aja”. – Dita, Teman cantik penulis sejak masih jadi Hayati sampe sekarang jadi Aurora, Pemilik olshop @dny_stuffs & @16case.id , cek IG-nya ya sist and broooo!

“Gue ngga terganggu temenan dengan cowok-cowok cantik, asalkan mereka sadar dan mau terbuka bahwa mereka memang merasa diri mereka “cantik”, kalau gitu kita sama-sama enak,  sama-sama bisa mengatur sikap. Tingkat kemachoan dalam persahabatan menurut gue nggak terlalu penting, selama seseorang bisa menempatkan diri di depan orang lain. Kalau memang cuma temen curhat, kenapa harus macho?” – Andreas, Mahasiswa Bandung, udah pernah nonton Mesakke Bangsaku by Panji

“Aku sih ngga terganggu, kadang cowok cantik itu kalo diajak ngobrol gapake baper. Soalnya kata orang-orang akika punya bakat ngebaperin laki. (Soal seberapa penting tingkat kemachoan dalam hubungan persahabatan) biasa aja, ngga terlalu penting. Cowok macho itu cenderung diem, susah diajak ngobrol. Jadi kayanya makin macho, makin bisu tuh cowok. Ya gak perlu macho-macho amat yang penting bisa ngertiin aku dan bikin aku nyaman dia sama dia.” – Tiara, Ukhti gaul masa kini, Mahasiswi Arsitektur yang siap membangun masa depan

“Selama ini belum ada cowok cantik yang jadi temen deketku, kalo misalnya punya, ya ngga masalah. Kan kita udah punya ciri khas dan kepercayaan diri masing-masing. Kalo dalam persahabatan, ngga ada keterkaitan sih soal macho apa engga, mungkin lebih ke menyamakan level aja sih, biar nyaman, kan bagian terpenting dari persahabatan adalah saling membutuhkan dan saling memberi.” – Qomar, Roommate-nya penulis, Punya agenda rutin tiap minggu buat donlod anime kesayangan. Anime aja disayang, apalagi kamu?

“Kalau aku sih ngga terganggu, karena tiap-tiap orang punya kepribadian masing-masing kan. Tapi, alangkah lebih baik kalo tetep dijaga hubungan cowo-cewenya, biar ngga nyampur banget gitu.” – Ika, Calon Dokter, Lulusan fakultas kedokteran UI, Pintar dan berakhlak mulia

Dari beberapa komentar di atas, dapat gue simpulkan : ngga ada yang salah dengan menjadi kurang macho selama orang tersebut bisa menempatkan diri. Gue sangat bersyukur punya temen-temen kayak mereka, yang open minded dan pandangannya luas, ngga terikat pada stereotype kuno masyarakat. Buat kalian cowok-cowok di luar sana yang mungkin  masih merasa kurang macho, daripada mencoba terlalu keras untuk menyesuaikan diri dengan apa yang orang lain inginkan, mending mulai menerima diri sendiri apa adanya, dan ketika lingkungan kalian ngga nerima kalian cuma gara-gara kalian kurang macho, lihatlah temen-temen gue, yakinlah kalo masih banyak orang yang berpandangan luas dan mau menerima kalian apa adanya.
“You’re boy so act like one.”
Oh, sorry, my penis didn’t come with terms and condition manual.

1 komentar:

  1. nih ada yang lebih cantik
    http://41.media.tumblr.com/67bee8d470ecf0b32c6e8c53ce9db75c/tumblr_nsh7jniKOT1t4k29vo2_1280.jpg

    semangat, ada orang yang nggak kemakan stereotip kok ..

    BalasHapus

7 Hal Yang Gue Pelajari di Umur 23 Tahun

Happy birthday to me!! Ehe Ehe. Ndak terasa tiba tiba udah 23 tahun aja, perasaan baru tahun kemaren ngerayain ulang tahun yang ke 22. Ehe ...