Rabu, 30 Desember 2015

Review TV Series : And Then There Were None (2015)


Pernah baca puisi di atas? Puisi tersebut adalah kutipan dari novel Agatha Christie yang berjudul “Ten Little Niggers”/ “And Then There Were None” yang diterbitkan pada tahun 1939. Novel thriller ini pernah gue baca pas gue masih di SMA, dapet pinjem dari kakak kelas (mbak Dian apa kabar ya sekarang?). Gue, yang saat itu masih berumur 15 tahun, suka banget sama novel ini, gue masih inget suasana mencekam yang gue rasakan ketika membaca salah satu karya Agatha Christie paling populer sepanjang masa ini. Buku ini sempet dibikin film pada tahun 1945. Filmnya pun masih hitam putih. Dulu gue sampe bela-belain buat streaming filmnya di youtube, dan walaupun filmnya jadul, suasana mencekamnya masih kerasa (gue selalu ngeri nonton film jaman baheula, karena kemungkinan besar pemainnya sekarang udah meninggal, practically I watch movies with dead people in it).

Sampai akhirnya beberapa hari lalu gue baca berita di timeline twitter gue kalo “And Then There Were None” dibikin TV series sama BBC. GUE LANGSUNG HEBOH DONG YA! Ini kayak mimpi jadi nyata, gue selalu pengen novel ini dibikin film yang lebih modern dan walaupun akhirnya bukan film, tapi miniseries 3 episode, it’s turned out so much better than I expected. Karena gue udah baca novelnya, gue jadi tau twist-twist dahsyat membahana sebelum nonton miniseries ini dan ternyata itu tidak mengurangi ‘kenikmatan’  gue selama menonton. Yah, walaupun gue yakin, miniseries ini efeknya bakalan jauh lebih mindblowing kalo gue belum baca novelnya (buat kalian yang mau nonton miniseries ini, baca novelnya ditunda dulu ya, trust me, it works!).




“And Then There Were None” bercerita tentang 8 orang yang diundang untuk berkunjung ke sebuah pulau terisolir (Soldier Island) oleh seseorang bernama Mr. Owen. Di pulau tersebut, sudah ada dua orang pembantu Mr. Owen yang siap memfasilitasi mereka selama mereka menghabiskan waktu di sana. 8 orang dengan profesi yang berbeda ini (hakim, detektif, dokter, tentara, mercenary, emak-emak tajir taat beragama, terong-terongan dan tukang asuh anak orang) ternyata punya masa lalu yang kelam. Setelah sampai di Soldier Island, mereka menemukan puisi tentang “Ten little solider boys” dipasang di kamar masing-masing, di ruang makan juga ada 10 patung kecil yang diletakkan di atas meja makan.  Tak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai mati dengan cara yang sama dengan apa yang ada di puisi “Ten little soldier boys”, 10 patung kecil di atas meja makan juga mulai hilang satu per satu. Mereka yang tersisa pun mencoba bertahan hidup sambil mencoba menguak misteri dibalik kematian-kematian yang terjadi.

Dari cerita aslinya udah juara banget sih, mungkin inilah pelopor film-film horor yang bercerita tentang segerombolan orang ngga penting yang main-main ke daerah angker trus mati satu per satu. Di versi miniseries-nya, ada beberapa bagian yang diubah, walopun secara garis besar masih sama kayak di novel, tapi ada beberapa detail kecil yang sengaja diubah biar hasilnya lebih bagus (misal : cara kematian beberapa orang yang sengaja dibikin beda). Selain itu, ada juga penambahan beberapa unsur yang bikin miniseries ini jadi tambah seru. Diawali dengan episode 1 yang masih agak santai di bagian pembukaan dan pengenalan karakter, yang kemudian mulai menaikan tensi cerita di bagian akhir. Dilanjutkan dengan episode 2 yang makin seru dan mencekam dengan mulai banyaknya kematian yang terjadi. Lalu kemudian episode 3 menutup rangkaian cerita misteri ini dengan ketegangan tinggi dan plot-twist yang cemerlang. Miniseries 3 episode pas banget buat menggambarkan apa yang terjadi, ngga lebih, ngga kurang. Sebagai fans cerita ini, gue suka banget sama gimana producer-nya mengeksekusi adegan-adegan yang ada di novel dengan membawanya ke layar kaca. Ekspektasi gue udah tinggi di awal dan ternyata dibayar lebih tinggi lagi sama miniseries ini (gue bahkan ngga menyangka bakalan ada ‘penampakan-penampakan’ yang bikin miniseries ini jadi jauh lebih mencekam). 
 
Selain ceritanya, salah satu faktor sukses mini series ini adalah jajaran cast yang solid. 10 orang yang ada berhasil menghidupkan suasana mencekam, apalagi menjelang akhir, di mana mereka yang masih bertahan hidup merasakan tekanan dan teror yang luar biasa. Setiap orang berhasil membawakan perannya masing-masing, walaupun pas awal ngumpul mereka haha hihi kayak ngga ade beban, mereka berhasil menampilkan sisi yang lain ketika dihadapkan sama masa lalu mereka, bahkan si terong-terongan udah nyebelin dari awal dia muncul (Alhamdulillah dia yang pertama mati, ups... spoiler).

Kalo punya badan kayak gitu, mana bisa makan mie instan jam 11 malem.
Scene stealer mini series ini jatuh ke tangan Phillip Lombard, seorang mercenary yang diperankan oleh Aidan Turner (yang jadi Kili di The Hobbit). Dengan penampilannya yang luar biasa cool (dan ganteng), Lombard berhasil menjadi sosok yang keren sekaligus membahayakan. Mas Turner bau-baunya (?) bakalan makin terkenal gara-gara mini series ini, gue coba search di google, hampir semua berita tentang dia isinya memuji penampilannya di  sini (termasuk adegan shirtless-nya yang katanya ‘makes women on internet going crazy’).

Setting pulau yang luar biasa indah menjadi nilai tambah lebih dari miniseries ini, yah, walopun horor juga sih gara-gara rumahnya cuma ada satu. Rumahnya Mr. Owen juga bagus, kuno-kuno-modern kalo kata gue yang ngga ngerti dunia arsitektur sama sekali. Kostum-kostum pemainnya juga keren, gue selalu suka liat jas-jas Inggris jaman baheula. Perpaduan setting tempat dan kostum di miniseries ini mengingatkan gue sama “Downton Abbey”, setting waktunya ngga beda jauh soalnya. Cerita di “And Then There Were None” berlangsung pada Agustus 1939, pas awal-awal mau Perang Dunia kedua, sedangkan season 1 “Downton Abbey” berakhir saat Inggris mendeklarasikan perang terhadap Jerman (September 1939). Ini kenapa jadi bahas sejarah sih?

Overall, TV series ini WAJIB kalian tonton buat kalian yang suka sama mistery-thriller. Selain bikin mikir soal apa yang ada dibalik misteri pembunuhan yang terjadi, serial ini juga bikin ngeri sama adegan-adegan yang ‘dark’ dan juga mencekam (dan horor). Eksekusi cerita yang bagus, dibantu dengan jajaran cast dengan performa yang kuat, menjadikan “And Then There Were None” menjadi sebuah tayangan yang sangat menghibur.

P.S :
- Buat yang udah nonton, jangan lupa baca novelnya ya, biar pemahaman soal apa yang terjadi di serial ini jadi lebih menyeluruh. Tapi gue terakhir ke gramedia di Solo, novel ini udah out of stock. Gue sendiri berencana buat beli novel versi Inggrisnya secara online, besok kalo udah punya duit sendiri. Do’akan ya. Amin. (Apaan ini minta do’a di postingan review tv series)
- “And Then There Were None” juga pernah dibahas sekilas di sebuah drama korea berjudul “Master’s Sun”. Tokoh utamanya pas masih muda sempet diculik dan dipaksa buat baca novel ini sampe dia kehilangan kemampuan membacanya. Sounds riddiculous, doesn’t it?
- Am I the only one here who realizes that doctor Amstrong has no nipples?

1 komentar:

7 Hal Yang Gue Pelajari di Umur 23 Tahun

Happy birthday to me!! Ehe Ehe. Ndak terasa tiba tiba udah 23 tahun aja, perasaan baru tahun kemaren ngerayain ulang tahun yang ke 22. Ehe ...