Pernah baca puisi di atas? Puisi tersebut adalah kutipan dari novel Agatha
Christie yang berjudul “Ten Little Niggers”/ “And Then
There Were None” yang diterbitkan pada tahun 1939. Novel thriller ini pernah
gue baca pas gue masih di SMA, dapet pinjem dari kakak kelas (mbak Dian apa
kabar ya sekarang?). Gue, yang saat itu masih berumur 15 tahun, suka banget
sama novel ini, gue masih inget suasana mencekam yang gue rasakan ketika
membaca salah satu karya Agatha Christie paling populer sepanjang masa ini. Buku
ini sempet dibikin film pada tahun 1945. Filmnya pun masih hitam putih. Dulu
gue sampe bela-belain buat streaming filmnya di youtube, dan walaupun filmnya
jadul, suasana mencekamnya masih kerasa (gue selalu ngeri nonton film jaman
baheula, karena kemungkinan besar pemainnya sekarang udah meninggal,
practically I watch movies with dead people in it).
Sampai akhirnya beberapa hari lalu gue baca berita di timeline twitter gue
kalo “And Then There Were None” dibikin TV series sama BBC. GUE LANGSUNG HEBOH
DONG YA! Ini kayak mimpi jadi nyata, gue selalu pengen novel ini dibikin film
yang lebih modern dan walaupun akhirnya bukan film, tapi miniseries 3 episode,
it’s turned out so much better than I expected. Karena gue udah baca novelnya,
gue jadi tau twist-twist dahsyat membahana sebelum nonton miniseries ini dan ternyata
itu tidak mengurangi ‘kenikmatan’ gue
selama menonton. Yah, walaupun gue yakin, miniseries ini efeknya bakalan jauh
lebih mindblowing kalo gue belum baca novelnya (buat kalian yang mau nonton
miniseries ini, baca novelnya ditunda dulu ya, trust me, it works!).
“And Then There Were None” bercerita tentang 8 orang yang diundang untuk
berkunjung ke sebuah pulau terisolir (Soldier Island) oleh seseorang bernama
Mr. Owen. Di pulau tersebut, sudah ada dua orang pembantu Mr. Owen yang siap
memfasilitasi mereka selama mereka menghabiskan waktu di sana. 8 orang dengan
profesi yang berbeda ini (hakim, detektif, dokter, tentara, mercenary, emak-emak
tajir taat beragama, terong-terongan dan tukang asuh anak orang) ternyata punya
masa lalu yang kelam. Setelah sampai di Soldier Island, mereka menemukan puisi
tentang “Ten little solider boys” dipasang di kamar masing-masing, di ruang
makan juga ada 10 patung kecil yang diletakkan di atas meja makan. Tak lama kemudian, satu per satu dari mereka
mulai mati dengan cara yang sama dengan apa yang ada di puisi “Ten little
soldier boys”, 10 patung kecil di atas meja makan juga mulai hilang satu per
satu. Mereka yang tersisa pun mencoba bertahan hidup sambil mencoba menguak
misteri dibalik kematian-kematian yang terjadi.
Dari cerita aslinya udah juara banget sih, mungkin inilah pelopor film-film
horor yang bercerita tentang segerombolan orang ngga penting yang main-main ke
daerah angker trus mati satu per satu. Di versi miniseries-nya, ada beberapa
bagian yang diubah, walopun secara garis besar masih sama kayak di novel, tapi
ada beberapa detail kecil yang sengaja diubah biar hasilnya lebih bagus (misal
: cara kematian beberapa orang yang sengaja dibikin beda). Selain itu, ada juga
penambahan beberapa unsur yang bikin miniseries ini jadi tambah seru. Diawali
dengan episode 1 yang masih agak santai di bagian pembukaan dan pengenalan
karakter, yang kemudian mulai menaikan tensi cerita di bagian akhir. Dilanjutkan
dengan episode 2 yang makin seru dan mencekam dengan mulai banyaknya kematian
yang terjadi. Lalu kemudian episode 3 menutup rangkaian cerita misteri ini
dengan ketegangan tinggi dan plot-twist yang cemerlang. Miniseries 3 episode
pas banget buat menggambarkan apa yang terjadi, ngga lebih, ngga kurang. Sebagai
fans cerita ini, gue suka banget sama gimana producer-nya mengeksekusi adegan-adegan
yang ada di novel dengan membawanya ke layar kaca. Ekspektasi gue udah tinggi di
awal dan ternyata dibayar lebih tinggi lagi sama miniseries ini (gue bahkan
ngga menyangka bakalan ada ‘penampakan-penampakan’ yang bikin miniseries ini
jadi jauh lebih mencekam).
Selain ceritanya, salah satu faktor sukses mini series ini adalah jajaran
cast yang solid. 10 orang yang ada berhasil menghidupkan suasana mencekam,
apalagi menjelang akhir, di mana mereka yang masih bertahan hidup merasakan
tekanan dan teror yang luar biasa. Setiap orang berhasil membawakan perannya
masing-masing, walaupun pas awal ngumpul mereka haha hihi kayak ngga ade beban,
mereka berhasil menampilkan sisi yang lain ketika dihadapkan sama masa lalu
mereka, bahkan si terong-terongan udah nyebelin dari awal dia muncul (Alhamdulillah
dia yang pertama mati, ups... spoiler).
![]() |
Kalo punya badan kayak gitu, mana bisa makan mie instan jam 11 malem. |
Scene stealer mini series ini jatuh ke
tangan Phillip Lombard, seorang mercenary yang diperankan oleh Aidan Turner
(yang jadi Kili di The Hobbit). Dengan penampilannya yang luar biasa cool (dan
ganteng), Lombard berhasil menjadi sosok yang keren sekaligus membahayakan. Mas
Turner bau-baunya (?) bakalan makin terkenal gara-gara mini series ini, gue
coba search di google, hampir semua berita tentang dia isinya memuji
penampilannya di sini (termasuk adegan
shirtless-nya yang katanya ‘makes women on internet going crazy’).
Setting pulau yang luar biasa indah menjadi nilai tambah lebih dari
miniseries ini, yah, walopun horor juga sih gara-gara rumahnya cuma ada satu. Rumahnya
Mr. Owen juga bagus, kuno-kuno-modern kalo kata gue yang ngga ngerti dunia arsitektur
sama sekali. Kostum-kostum pemainnya juga keren, gue selalu suka liat jas-jas
Inggris jaman baheula. Perpaduan setting tempat dan kostum di miniseries ini
mengingatkan gue sama “Downton Abbey”, setting waktunya ngga beda jauh soalnya.
Cerita di “And Then There Were None” berlangsung pada Agustus 1939, pas
awal-awal mau Perang Dunia kedua, sedangkan season 1 “Downton Abbey” berakhir
saat Inggris mendeklarasikan perang terhadap Jerman (September 1939). Ini
kenapa jadi bahas sejarah sih?
Overall, TV series ini WAJIB kalian tonton buat kalian yang suka sama mistery-thriller.
Selain bikin mikir soal apa yang ada dibalik misteri pembunuhan yang terjadi,
serial ini juga bikin ngeri sama adegan-adegan yang ‘dark’ dan juga mencekam (dan
horor). Eksekusi cerita yang bagus, dibantu dengan jajaran cast dengan performa
yang kuat, menjadikan “And Then There Were None” menjadi sebuah tayangan yang sangat
menghibur.
P.S :
- Buat yang udah nonton, jangan lupa baca novelnya ya, biar pemahaman soal
apa yang terjadi di serial ini jadi lebih menyeluruh. Tapi gue terakhir ke
gramedia di Solo, novel ini udah out of stock. Gue sendiri berencana buat beli
novel versi Inggrisnya secara online, besok kalo udah punya duit sendiri. Do’akan
ya. Amin. (Apaan ini minta do’a di postingan review tv series)
- “And Then There Were None” juga pernah dibahas sekilas di sebuah drama
korea berjudul “Master’s Sun”. Tokoh utamanya pas masih muda sempet diculik dan
dipaksa buat baca novel ini sampe dia kehilangan kemampuan membacanya. Sounds
riddiculous, doesn’t it?
- Am I the only one here who realizes that doctor Amstrong has no nipples?
Kak nntn dmn? Saya cari2 streaming nya nggk ada :(
BalasHapus